20 August 2010

Puisi Kias Sang Pencerita

Ulat daun yang comot merangkak-rangkak mencari mantera naga yang katanya pemberi bahagia. Dengan penat dan lelah, segala keringat dia alirkan demi mengaut geliga terkandung mantera yang seluruh mergastua gerun akannya. Tak cukup merangkak, dia melompat berpaut berhayun kerna cita-citanya jelas, demi dimahkotakan dengan segunung hormat dan ilmu. Bagaimanalah hidupnya sebagai ulat daun mampu bertahan di rimba penuh duri dan pemburu.

Dia jumpa gunungnya, tinggi namun bertangga. Di puncaknya ada gua. Dua minggu dia mendaki, penat tapi tak pernah berhenti atau mengeluh, kerna jelas didepannya satu impian demi memeluk segunung maruah untuk dirinya dan untuk kaumnya. Kaki-kaki kecilnya melangkah mendaki, dikala terdengar ngauman harimau dia berhenti bersembunyi, diam menyelamatkan diri, namun untuk turun dari gunung itu mustahil sama sekali. Kala terdengar guruh dan terlihat petir, dia mengaum dengan ngauman yang membingitkan telinga tiada siapa kecuali dirinya sendiri, kerna tegarnya dia mempertahankan maruah kerdilnya. Kala ada sungai yang besar dia melompat walau tahu dia takkan dapat melepasinya, terkapai2 di bawa arus, berpaut di daun yang menjalar, dia naik ke daratan, menghela nafas satu kali, dan terus berjalan mendaki kembali.

Dia di pintu gua dan tersenyum. Dia menyusuri gua dan tersenyum. Dia genggam geliga mantera naga dan tersenyum. Dia genggam sebuah mantera yang bakal menyatukan dirinya dengan belantara ganas, yang selama ini hanya mentertawakan dan menghina-hina kekerdilan sang ulat daun. Dia turun dari gunung dengan gigil dan gagah dan gah dan senyum. Dia nampak belantara kecil di bawah sedang menunggu-nunggu si pembawa mantera naga. Dia pijak di anak tangga terakhir, dan seterusnya memijak lantai duri belantara, dan dia masih berasa sakit...

Kaget dan pentan memeluk jantung kecil si ulat kecil. Tertanya-tanya di mana silapnya. Yang terlihat hanyalah gagak-gagak bermahkota yang mengepit dua geliga di paruhnya mengaum-ngaum kepada sang ulat. Datang pula ular-ular lidi yang menggulung tiga geliga mengaum-ngaum pada sang ulat. Datang pula singa tua dengan empat geliga naga dan satu geliga kambing mengaum-ngaum di depan sang ulat. Semuanya nampak lemah dan tercari-cari. Datang pula harimau putih nan gagah tanpa sebarang geliga duduk dan tidur di bawah sepohon jati lantas segala makhluk bergeliga lari menghilangkan diri... sang ulat menghampiri si harimau putih dengan gigil dan gagah menggenggam si geliga yang payah jalan ketemunya.

Bertanya sang ulat apa geliga yang dipakai sang harimau putih yang baru ingin tertidur. Katanya geliga alam. Bertanya sang ulat di mana dapat dia ketemu geliga alam kerna dahsyat sekali penangannya, hanya duduk dan tidur bisa merobek keangkuhan jiwa yang kotor. Sang harimau tunjuk tangannya yang kosong tanpa apa cumalah calar-calar dari perjalanannya dan pertarungannya, di tunjukkan tangannya dan sang ulat masih tercari-cari di mana letaknya geliga alam. Lalu sang harimau putih tersenyum, segala gigil sang ulat daun hilang serta merta, terasa damai yang tak terhingga. Betapa hebatnya damai yang dirasa membuat sang ulat daun terlepas geliga mantera naganya, lalu datang memeluk sang harimau putih.

Barulah sang ulat faham apa itu geliga alam... ia bukan berada dimana-mana, ia tiada di dada mana-mana raja rimba, ia cuma berada di jantung kecil setiap yang mendamba. Dia teruja mahukan seluruh alam takutkannya, namun terlupa yang seluruh alam lebih menghormatinya jika menyayanginya... sang ulat melupakan niatnya ingin berbadan besar, melupakan impian memiliki taring dan kuku pencengkam. Dia menyapu dada sang harimau lalu bertukar jadi kepompong yang lebih buruk dan rapuh dari wajah asalnya. Namun kemudian menjadi sang rama-rama yang sangat cantik dengan kibaran sayap yang mengagumkan. Dia membuka matanya dan melihat seekor harimau putih tua yang masih tersenyum padanya. Dia tersenyumdan mengibar-ngibarkan sayapnya terbang ke angkasa... seluruh belantara mendongak kepala menyaksi keindahan sang rama-rama. Semuanya tersenyum dan gembira menyaksikan keindahannya, terhenti pemburuan dan perbalahan walau hanya sementara, semuanya memuji-muji kejelitaannya. Sang rama-rama kini menemui maruahnya, menemui kegagahannya. Sambil terbang dia berseloka;

“Tiada geliga menjanji derhaka,
Mencarinya aku menyabung nyawa,
Geliga Alam geliga pusaka,
Sekali ku genggam bahagianya ke jiwa”

No comments: